Monday, March 1, 2010

Batik Yogya Hanya Kuasai 20 Persen Pasar

Rabu, 24 Februari 2010 | 11:23 WIB

Yogyakarta, Kompas - Batik buatan DIY hanya menguasai sekitar 20 persen penjualan batik di seluruh DIY. Pasar-pasar batik Yogyakarta saat ini justru dikuasai produk-produk batik luar daerah seperti batik asal Pekalongan dan Solo, Jawa Tengah, yang inovatif dalam corak, warna, dan massal pembuatannya.

Hal itu dikemukakan Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Yogyakarta Dyah Suminar kepada wartawan seusai pembukaan pelatihan batik di Griya UMKM Yogyakarta, Selasa (23/2). Pelatihan ini diikuti 30 peserta dari seluruh kecamatan yang akan berlangsung selama tiga hari.

Istri Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto itu mengata- kan, kecilnya pasar batik DIY dikarenakan produksi batik DIY tak bisa menyamai Solo maupun Pekalongan. Batik asal Pekalongan, misalnya, didominasi jenis cap dan printing (cetak) yang mampu diproduksi secara massal dan jauh melampaui produksi batik DIY yang mayoritas merupakan batik tulis yang diproduksi manual.

Meskipun demikian, Dyah melihat produksi batik DIY masih bisa ditingkatkan. Salah satunya dengan meningkatkan produktivitas dan regenerasi perajin batik. "Beberapa tahun ini, Dekranasda telah menyelenggarakan berbagai pelatihan batik yang terbuka untuk umum. Tahun ini, kami akan intensifkan lagi," kata Dyah.

Pelatihan tahun ini meliputi semua proses pembatikan, seperti pemahaman batik, jenis, pola, proses lilin, teori dan praktik pengelolaan limbah, serta pemanfaatan batik menjadi produk fashion.

Ia menambahkan, upaya mengembangkan industri batik Yogyakarta di pasaran sendiri tidak bisa dibebankan kepada perajin dan asosiasi semata. "Pengembangannya harus didukung semua pihak, termasuk para tokoh dan pejabat yang bisa berperan dalam memopulerkan batik," ujarnya.

Bukan pembanding

Dihubungi secara terpisah, Pelaksana Harian Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UKM DIY Astungkoro mengatakan, produksi batik DIY tidak bisa dibandingkan sejajar dengan batik Solo maupun Pekalongan. "Apalagi jika batik printing yang bukan termasuk batik dimasukkan sebagai perbandingan," katanya.

Pasalnya, alasan orang membeli batik adalah masalah pilihan terkait gaya, selera, dan kualitas. "Orang membeli batik Solo dan Pekalongan karena warna-warna yang cerah dan berani. Yogyakarta memiliki ciri khas batik tulis dengan warna kalem, hitam, dan putih. Itu pilihan pribadi yang memiliki pasar sendiri-sendiri," tuturnya.

Jika Yogyakarta berupaya mengejar kuantitas produksi batik dengan beralih ke printing justru, dinilai Astungkoro, keliru. "Kalau semua beralih ke cetak, batik tulis justru akan hilang," katanya.

Astungkoro menambahkan, batik tulis memang tidak akan bisa mengejar produktivitas cap atau printing karena metode pembuatannya manual dan rumit. Akan tetapi, ia optimistis batik tulis akan selalu memiliki pasar setia karena kualitas tinggi dan kesan eksklusifnya. (ENG)

http://oase.kompas.com

No comments:

Post a Comment


My Ping in TotalPing.com
Get paid To Promote at any Location