Sunday, March 7, 2010

Alpha dan Kampoeng Batik Laweyan

Rabu, 18 Februari 2009 | 09:16 WIB
kompas
Alpha Febela Priyatmono

CHRIS PUDJIASTUTI dan ARDUS M SAWEGA

Nama Kampung Laweyan, Surakarta, Jawa Tengah, kembali muncul awal tahun ini. Kampung yang dikenal lewat produk batik serta kehidupan khas para perajin dan saudagar batiknya itu tampil di media lewat sosok Alpha Febela Priyatmono. Dia mendapat penghargaan Upakarti untuk kategori jasa kepeloporan. Sejak 2004 ia menjadi Ketua Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan.

Upakarti bagi Kampung Laweyan, kata Alpha, sangat berarti. Penghargaan yang diberikan untuk kalangan industri kecil dan menengah itu menunjukkan eksistensi Kampung Laweyan telah diakui pemerintah dan masyarakat.

”Pengakuan itu perlu agar kami terpacu untuk lebih mengembangkan kawasan ini. Di sini juga dituntut tanggung jawab kami untuk menjadikan Laweyan benar-benar menjadi kawasan pusat industri batik dan heritage yang pintar. Pintar dalam arti industri yang ramah lingkungan, hemat energi, melek pengetahuan dan teknologi, dengan tak meninggalkan nilai tradisionalnya,” katanya.

Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKBL) adalah organisasi pemberdayaan masyarakat yang dibentuk pada 25 September 2004 seiring dengan dibentuknya Kampoeng Batik Laweyan. FPKBL menjadi salah satu elemen dari warga Laweyan untuk mengembangkan pariwisata berbasis industri batik dan nonbatik, seperti sejarah, bangunan, dan tradisi kawasan ini.

”Sebenarnya tugas kami hanya menjadi koordinator dan fasilitator,” kata Alpha. Padahal, lewat FPKBL, program pengembangan Laweyan berjalan, mulai dari mengurusi masalah permodalan, promosi, sampai pelestarian kawasan.

Segala hambatan, mulai dari menyadarkan ahli waris tentang pentingnya melestarikan bentuk bangunan yang menggambarkan beragam arsitektur pada zaman keemasan Mbokmase (sebutan untuk perempuan saudagar batik Laweyan) dan Mas Nganten (pria saudagar batik Laweyan) sampai minimnya modal usaha dan sulitnya memasarkan produk itu, harus mereka lalui.

Hasilnya? Kalau tahun 2004 jumlah pengusaha batik Laweyan tercatat 22, kini berkembang menjadi 56 pengusaha atau lebih dari dua kali lipat. Seiring dengan booming batik di pasaran, pendapatan warga Laweyan pun meningkat, bahkan sampai sekitar 200 persen.

Selain industri batik yang tumbuh setelah mati suri sejak 1970-an, konservasi bangunan rumah tinggal para juragan batik Laweyan yang tak terawat, bahkan rusak, pun mulai ditata. Ada sebagian rumah yang berubah fungsi, seperti menjadi hotel atau tempat pertemuan, tetapi bentuk bangunan yang bergaya indische, terutama art deco, relatif dipertahankan.

Gara-gara tesis

Alpha menetap di Laweyan sejak menikah pada tahun 1985. Istrinya, Juliani Prasetyaningrum, berasal dari keluarga juragan batik Laweyan. Usaha batik keluarga yang turun-menurun sejak 1956 itu punya beragam merek, di antaranya Mahkota Djaja, Tiga Dara, Tjap Ajam, Nusa Indah, Mustika Djaja, dan sekarang Mahkota Laweyan.

Namun, sama seperti nasib juragan batik Laweyan yang mati suri sejak munculnya batik printing, usaha keluarga Alpha pun surut. Keturunan juragan batik Puspowijoto ini pun bekerja di berbagai bidang karena batik tak bisa lagi dijadikan sandaran hidup.

”Sebagai arsitek, sebenarnya sejak lama saya kagum pada Kampung Laweyan. Tetapi, lebih dari 20 tahun perasaan itu terpendam. Kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Baru pada tahun 2003 ketika saya menyusun tesis untuk S-2 di Magister Desain Kawasan Binaan Jurusan Arsitektur UGM terpikir untuk mengambil tema kawasan Laweyan,” ceritanya.

Demi tesis, Alpha mulai meneliti dan menggali potensi Laweyan, terutama dari sudut arsitekturnya. ”Setelah meneliti beberapa bulan, saya semakin yakin Laweyan memang pantas dikembangkan sebagai heritage, menjadi kawasan pariwisata bukan hanya karena kekhasan arsitektur bangunan-bangunannya, tetapi juga batik dan sejarahnya,” katanya.

Mengingat sebagian bangunan di Laweyan waktu itu tak terawat, bahkan cenderung rusak, ia merasa perlu melakukan sesuatu. Agar Laweyan sebagai salah satu penanda Kota Solo tidak lenyap begitu saja, tahun 2004 dibentuklah FPKBL bersamaan dengan diresmikannya Kampoeng Batik Laweyan.

”Sebenarnya saya sudah tertarik dengan Laweyan sejak 1983. Waktu itu saya menyusun skripsi S-1 jurusan arsitektur, judulnya Kampung Batik Sondakan Surakarta. Sondakan adalah salah satu kelurahan di Kecamatan Laweyan,” kata Alpha.

Adanya FPKBL membuat warga Laweyan pada umumnya mempunyai rasa memiliki kawasan itu. Mereka seakan disadarkan akan pentingnya menjaga Laweyan dari kemungkinan kepunahan. Untuk itu dibutuhkan peran serta semua pihak. ”Kami lalu membuat semacam grand desain, mana daerah yang bisa berubah dan mana yang harus dipertahankan,” katanya.

Menumbuhkan stimulus

Lewat FPKBL kawasan Laweyan ditata kembali sesuai dengan kondisinya kini. Ketika itu ada 30 bangunan yang mendesak diperbaiki. Untuk mengonservasi bangunan itu, pada Agustus 2008 Laweyan mendapat bantuan dari pemerintah pusat. Masing-masing rumah yang perlu segera diperbaiki menerima dana sekitar Rp 20 juta.

”Pemilihannya berdasarkan kondisi bangunan dan pemiliknya dinilai kurang mampu memperbaiki sendiri. Padahal, bentuk bangunan itu pantas dipertahankan. Revitalisasi ini melibatkan warga karena Laweyan adalah kawasan yang masih ’hidup’,” katanya.

Konservasi bangunan itu ternyata menumbuhkan stimulus pada warga. Mereka yang tak lagi membuat batik mulai tergerak untuk kembali menggeluti industri batik. Berbagai kegiatan penunjang Kampoeng Batik Laweyan pun bergerak, mulai dari diadakannya pentas budaya dan sarasehan rutin setiap bulan, adanya kajian tradisi dan bahasa Jawa, didirikannya Laweyan Batik Training Centre, koperasi batik, instalasi pengolahan air limbah batik komunal, sampai menjadikan Laweyan sebagai obyek wisata terpadu.

Tahun 2005 Alpha menekuni usaha batik. Di rumah sekaligus ruang pamernya, dipajang produk batik berdesain klasik ataupun kontemporer dalam berbagai bentuk, seperti kain, baju, taplak, seprai, dan aksesori rumah. Keluarganya juga tinggal di rumah tua yang dipertahankan bentuk aslinya. Rumah berarsitektur Jawa dengan pendopo, patangaring, ndalem, dan sentong untuk memisahkan kegiatan publik dan pribadi.

http://megapolitan.kompas.com

No comments:

Post a Comment


My Ping in TotalPing.com
Get paid To Promote at any Location