Wednesday, October 13, 2010

Setelah Batik Naik Kelas


Julia Robert sempat terkagum-kagum menyaksikan sehelai batik Cirebon bermotif mega mendung yang dikenakan artis senior Christine Hakim. Pemeran Elizabeth di film Eat, Pray, Love yang mengambil shooting di Ubud, Bali, ini tak henti-hentinya memegang halus kain batik tersebut.

“Dia bilang kain batik ini indah, warna dan motifnya cantik,” kata Christine menuturkan rasa kagum pemeran Pretty Woman itu.

Batik di mata Christine Hakim bukan hanya identitas diri. “Buat saya, batik merupakan bagian dari promosi negeri ini. Setiap saya ke luar negeri, saya selalu membawa koleksi batik, baik yang saya beli di perajin kecil maupun koleksi perancang lokal ternama,” ujarnya panjang-lebar.

Menurut Christine, setahun seusai United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) memberi pengakuan batik sebagai salah satu warisan budaya Indonesia di Abu Dhabi pada 2 Oktober tahun lalu merupakan angin segar. Apalagi kemudian pemerintah menetapkan setiap tanggal tersebut menjadi Hari Batik Nasional. “Ini menjadi tonggak sejarah penting,” ujarnya.

Senada dengan Christine, perancang Edward Hutabarat menyerukan semangat yang sama. Jumat lalu, bertempat di Museum Nasional, Jakarta, Edo-demikian Edward Hutabarat biasa disapa, mengobarkan semangat untuk mengenakan batik dengan slogan “Cintaku pada Batik Takkan Pernah Pudar”.

Selain menggelar peragaan busana, di acara itu Edo membeberkan bagaimana proses kecintaannya kepada kampung-kampung batik yang tersebar di seluruh Indonesia sebagai sumber inspirasi karyanya.

Bagi Edo, batik merupakan ekspresi kreativitas dan spiritual kehidupan rakyat yang telah naik kelas dan mendapat pengakuan internasional. “Saya memang menyajikan batik untuk kalangan papan atas.

Tapi saya pun ingin mengangkat kecintaan dan proses perjuangan hidup pembatik lengkap dengan sinergi lingkungan sekitar, seperti alam, kuliner, kerajinan, way of life sebuah kampung batik,” tuturnya.

Dengan memberi cerita panjang pada setiap batik yang dirancang menjadi karya indah di tangannya, Edo menginginkan batik bukan hanya sebagai bagian masa lalu, tapi juga untuk masa kini, yang tetap eksis di masa datang. Batik harus menjadi identitas dan kecintaan yang pada kehidupan modern yang tidak boleh hilang begitu saja dan memudar.

“Biar kalangan atas yang membeli batik saya tahu persis bagaimana proses panjang selembar kain. Saya harap, dengan begini, mereka tak hanya mampu membeli, tapi juga meresapi dan memaknai filosofinya.”

Karena itu, setiap Edo mengunjungi kampung batik di sebuah daerah, hal itu mewajibkannya membuat cerita panjang tentang sinergi lingkungan sekitar. “Dengan demikian, penghargaan batik tak sekadar asal pakai, tapi roh dan spiritnya juga akan melekat di sini,” katanya sambil menunjuk dada.

Sementara itu, Ikke Nirwan Bakrie, Ketua Rumah Pesona Kain (RPK), mengaku bahagia karena pada akhirnya batik menjadi tuan rumah di negeri sendiri. “Dulu ada anggapan bahwa yang pakai batik pasti ‘jadul’, hanya untuk ke undangan. Setelah semakin eksis dan naik kelas, batik menjadi identitas diri. Semua bangga, senang pakai batik, mulai anak-anak, remaja, hingga dewasa dan orang tua.”

Melalui RPK, Ikke menularkan semangat untuk menjaga dan melestarikan kain lokal, termasuk batik, kepada generasi muda. Tak dimungkiri, yayasan atau lembaga pencinta kain seperti RPK dari waktu ke waktu tumbuh subur dengan mengusung idealisme, visi, dan misi yang beragam.

“Itu pertanda bagus, saling melengkapi. Tidak ada persaingan, justru menjadi alternatif untuk ikut mencintai, menjaga, dan melestarikan kain seperti batik.”

Ikke mengakui, kehadiran wadah semacam ini membuat peminatnya, seperti para kalangan berduit atau papan atas, mencintai batik. “Tetapi saya ingin mereka tak sekadar mampu bayar atau borong. Yang paling penting, mereka harus bersikap memahami, menghargai, dan mencintai. Jangan merasa berduit, tapi tidak tahu spirit atau behind the story-nya.”

Di tempatnya, upaya yang dilakukan adalah membuat sinergi berupa program pembinaan untuk menjalin hubungan sosial serta ekonomi antara perajin batik, penjual, peran perancang, dan pembeli. “Melalui proses panjang ini sebagai benang merah ikatan yang kuat di antara mereka.”

Pengamat kain Sativa Sutan Aswar mengatakan, setelah batik naik kelas, bukan berarti pekerjaan selesai. “Masih banyak pekerjaan rumah, tidak berhenti di sini. Sekarang masyarakat ramai-ramai dan percaya diri memakai batik. Tapi harus diingat, kita mesti waspada terhadap serangan batik print Cina yang lebih murah dan beragam. Bila ini yang terjadi, kita hanya bangsa yang memakai batik impor yang memakai motif kita,” ujarnya.

Karena itu, Atitje–demikian Sativa Sutan Aswar biasa disapa–mengajak masyarakat harus bersikap jeli dan kritis untuk mencintai batik buatan negeri sendiri. Menurut dia, hal ini memang bukan pekerjaan mudah, harus ada kampanye, sosialisasi, dan pemberian informasi yang benar tentang batik kita. “Jadi bukan kita sudah berbangga-bangga pakai batik, eh ternyata yang dipakai batik buatan negara lain, yang dengan leluasa dan memang mirip menyajikannya seperti batik negeri sendiri.”

Oleh : HADRIANI P

Foto : TEMPO/Fully Syafi

Sumber : tempointeraktif.com, Selasa, 5 Oktober 2010

No comments:

Post a Comment


My Ping in TotalPing.com
Get paid To Promote at any Location