VIVAnews - Produk batik Indonesia diusulkan mempunyai pos tarif (harmonized number/HS) sendiri. Pos tarif ini yang akan digunakan untuk mengenali produk sebagai komoditas perdagangan.
Selama ini, batik belum mempunyai pos tarif sendiri dan dikategorikan ke dalam komoditas garmen. Usulan itu, menurut Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah Kemenperin Fauzi Aziz, telah mencuat sejak tahun 1985.
"Apalagi untuk saat ini sangat relevan, mengingat dengan FTA Asean-China, pembatik kita kuatir dan takut banjir batik dari China," kata Fauzi di sela-sela kunjungan kerja Menteri Perindustrian MS Hidayat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Sabtu, 16 Januari 2010.
Produk tekstil dari China memang menjadi ancaman batik asli Indonesia, terutama batik tulis dan batik cap. Sebab, batik China masuk bukan dalam bentuk batik tetapi dominan dalam bentuk tekstil bermotif batik.
Padahal, belum genap setahun, batik diakui secara internasional oleh UNESCO sebagai warisan budaya tak benda. Untuk merealisasikannya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai siap membantu.
"Kami akan bantu untuk membicarakannya dengan tim tarif di Badan Kebijakan Fiskal," kata Direktur Teknis Kepabeanan Ditjen Bea dan Cukai.
Kendati demikian, kata Agung, perlu diidentifikasi, batik harus dimasukkan di kelompok pos tarif mana. "Karena, jenis kain bisa juga dibuat batik," katanya.
antique.putra@vivanews.com
Sunday, February 21, 2010
Tekstil China Ancam Industri Batik
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment